Saturday, September 22, 2012

Mengudara Ke Magnet Alam, Purwokerto

                Memahami ini sebagai sebuah keputusan bukan hal gampang memang. Bertahan sendiri yang sebenarnya semua orang mampu mengerti kondisinya. Flashback dari rencana awal tentang rancangan langkah yang telah dipikirkan matang – matang saat itu, tetapi sebutlah rencana itu gagal terwujud. Biarlah.. Biarlah kata “belum berhasil” tidak aku terima. Karena hari ini aku lebih dari sekedar bahagia disini dan menata hati itu begitu indah terasa.
                Batiahnya kota kelahiranku, magnet – magnet ranahku begitu berat untuk ditinggalkan hanya untuk beranjak ke sebuah kampung kecil ini, sebutlah kota administratif. Tanpa bandara, tanpa mall, dan bukan berarti tanpa keistimewaan. Dan perjalanan ini tidak ingin aku sia – siakan tanpa sebuah pembukuan.
Perjalan 4-5 jam efisiensi adalah perjalanan tersabar menurutku menuju Yogyakarta atau Semarang. Bagaimana tidak, perjalanan yang sebenarnya bisa ditempuh 3-4 jam mengalami perlambatan karena akses jalan yang sempit dan berkelok – kelok terjal. Dan ini demi gelar “Sang Anak Jenderal Soedirman” aku relakan keluahan membathinkanku satu persatu.
Saat itu, mobil travel yang mengantarkanku pertama kali kesini serasa tidak cukup tenaga memboyong ke kaki gunung Selamet, Purwokerto ini. Jiwa kotaku membrontak kasar dalam paras tenangku. Entah kutukan dan pertanyaan macam apa yang harus diutarakan tentang kota pendewasa jiwa ini saat itu. “ Ya Allah.. rencana macam apa yang hendak Kau tunjukkan padaku?”
Tidak cukup dengan kota ini, kejutan – kejutan lainnya adalah tentang rumah keduaku yang tak cukup kokoh menurutku, tidak indah, tidak mewah, tetapi amat rindang tertutup pohon meraksasakan diri. Sementara di sisi depan kemewahan terjadi. Gedung – gedung pencakar langit, akses kemewahan bertebaran, suasana intelektual yang kala itu menurutku adalah seperti itu membebani benakku.
                “Pulangkah yang terbaik? Dan Hukum Andalas menantiku.” sederhananya kontradiktif. Tetapi dalam – dalam kutepis keinginanku untuk pulang karena sedari awal –studi ke luar Sumatera- adalah orientasiku. Meskipun besar keraguan tentang narasi macam apa yang akan dikisahkan ke kampung halaman nantinya. Ini hanya kuwujudkan dengan ber-ramadhan dan ber-syawal di sebuah kota persiapan, Madiun Jawa Timur. 
                Datang ke kota ini lebih awal. Jiwaku kering serupa dengan retak – retak tanah yang kutinggalkan di Jawa Timur. Kamilah dua wujud berbeda sepantaran kisah  kehausan lebih dari sebulan. Saharaku yang ingin selalu bertumbuh, hijau, tersenyum setidaknya tetapi itu tidak terjadi. Sampai pada suatu hari butiran itu turun mengembun besar. Langkah kaki lebih dipercepat, berlari dari lantai tiga rusunawa Soedirman menuju halaman luas intelektual, berputar – putar, dan mengabadikannya. Inilah gerimis pertamaku di pulau Jawa. Hanya di kota Purwokerto.
                Kisah lainnya adalah menyerahnya tubuhku dengan sekelebat kegiatan bersih – bersih asrama. Dinginnya Purwokerto lebih menusuk tulang  rasanya. Malam itu tiada yang bisa mendengar keluhku karena melihatku berkeluh semacam satu hal yang tabu bagi mereka disini. Jangankan pemanas ruangan, jaket atau selimut saja aku belum punya. Aku serasa meregang nyawa di jelang subuh hari itu. Disini fase – fase betapa aku ingin pulang setidaknya dihangatkan istanaku. Sekali lagi, sakit tanpa orang tua itu sama beratnya saat mendengarkan kumandang takbir syawal tanpa keluarga di satu permadani sajadah.
                Dan hari ini catatan ini rampung ku tulis, karena aku tidak punya alasan lagi untuk mengeluh. Karna keluh terbesarku menempati seluruh hati yaitu saat aku tak lagi dicintai, dan saat aku lupa akan janjiku mencintai. Perjalanan singkat ini masih snagat panjang untuk berlanjut, bertumbuhlah sahara!

Thursday, August 30, 2012

Dunia, Akulah Sang Anak Daerah




Ah... Dengarlah Dunia...
Aku sang putra daerah tanah kelahiranku.
Miris sekali saat aku memperkenalkan daerah asalku dengan wajah bingung dari lawan bicaraku.
Menyedihkan sekali saat aku menerakan “Sumatera Barat” sebagai kata penjelas dari tanah kelahiranku.
Aku bukan koki Rumah Makan Padang, aku juga bukan guide di Jam Gadang Bukittinggi dan Ngarai Sianok, aku juga bukan pemanjat tebing Lembah Harau. Tapi akulah sang anak tanah kelahiranku, PAYAKUMBUH.
Aku tak berani menceritakan apa – apa tentangmu Ranah Minang, sungguh tak berani.. Terlahir dengan gelar “bipatride” sepertiku, mengakuimu yang penuh kultur leluhur  adalah –ketakutan-tersendiri bagiku.. Cukuplah,, aku takut menodai citramu karena aku telah melangkah jauh meninggalkan satu persatu sulaman leluhur, kecuali satu kata –Merantau-. Jika Minang masih mengakuiku sebagai bagian dari mereka aku akan berterima kasih dan menyudahinya dengan maaf gelar itu aku sandang dengan kelalaian.
Bagiku, alam pertama yang ditatap mataku adalah kampungku, kampungku bukan tanah asal Ayah, juga bukan tempat ninik mamak dari Ibuku. Tapi lebih tepatnya kampung halamanku adalah tanah kelahiranku.
Aku yang besar di Payakumbuh dan Payakumbuhlah yang membesarkanku. Jadi tidak secuilpun keinginanku meng-Kota-kan diriku jika memang aku harus dipanggil sang anak daerah. Biarlah...Asal jangan mengubah identitasku.
Wahai Dunia... Silahkan kau panggil aku anak derah...
Tapi jangan pernah menyemukan tanah kelahiranku, menyemukan kampung halamanku...
Dan sedikitpun tidak aku ingin men-chauvinisme-kan pemahamanku, hanya saja aku ingin tatapan paham akan tanah kelahiranku.
Dan terima kasih Dunia, telah mendengarkanku.

Saturday, August 18, 2012

Tempat Menuntut Ilmu Peradaban


Singkat saja, bagiku keluarga kecil ini adalah tempat menutut ilmu peradaban. 
Seperti mata rantai yang selalu berusaha melahirkan generasi rabbani menuju peradaban besar atas nama Illahi. 

Mungkin akan banyak kita temukan mereka yang melangkah bersama yang atas nama Allah, memiliki visi luar biasa dengan usaha perwujudan yang layak diacungi jempol tentunya. Namun menjadi jalan tersendiri untukku dan teman-teman lainnya berada dalam perkumpulan ini. 

Saat langkah semidewasa terasa gamang, sementara banyak waktu yang dihabiskan untuk belajar "berdewasaria" ditengah masyarakat, aku terjerumus dan seterusnya sengaja menjerumuskan diri keluarga hangat ini. Mungkin banyak alasan mengapa kami bisa duduk bersama hari ini. Seperti, tak sengaja, figuritas, pencarian jati diri, bakat tersendiri, dsb. Tapi proses telah menyatukan pandangan dan tujuan kami hingga genggaman tangan - tangan luar biasa selalu dirasakan. Alhamdulillahirabbil'alamiin.


Hingga hari ini, aku tidak ada lagi di sana, tubuh ini pun tidak lagi bisa bersalam hangat, tidak ada lagi langkah-langkah ukhuah bersama keluarga itu. Tapi azzamku, suatu saat bendera kebesaran akan kembali kukibarkan, entah itu di Sumatera Barat atau di Luar Negeri sekalipun, InsyaAllah. Allahumma Aamiin.


Tiada alasan untuk melupakan,
setelah sekian banyak yang telah ia berikan.
Akulah sang pemutus mata rantai itu,
Generasi yang disiapkan, 
kemudian seenaknya meninggalkannya.
Maafkan aku,
Yang terlihat angkuh berjalan,
Selayaknya lupa akan kata terima kasih,


http://assalamsb.wordpress.com/

Thursday, August 9, 2012

KAPUR TULIS DAN PAPAN TULIS HITAM, Padang Hayalan


Ah, aku mulai terserang rindu tentang kapur tulis dan papan tulis hitam. Rasanya nyata sekali sejoli ini mencerdaskan pencerdas dan yang dicerdaskan dahulu. 
Kini, kita terlalu dimewahkan, bukan? Sampai lupa bahwa bubuk serpihannya yg dianggap debupun mampu melahirkan pencerdas sejati. 
Aih,, sombong sekali kita, sekonyong2 membuangnya begitu saja. Lupakah kita ia pernah menjadi penambal setiap lobang terawang antar membran pencerdas? 
Aku ingat ejaan tulisan tegak bersambung mampu kuukir dikertasku, perpaduan angka pun mampu kuciptakan, aku pun lantang membaca, bahkan hari ini siapa yang tak terkena imbas keharusan itu. 
Berani kukatakan, itu tak lebih sederhana dari mereka yg dicerdaskan di pasir, digubuk tanpa kertas dan papan tulis hitam, tapi aku dulu merasa luar biasa dan diluarbiasakan oleh kapur tulis dan papan tulis hitam yang hari ini langka kutemukan. 

Monday, July 30, 2012

Jingga Pekat Telah Lahir dari Rahim Barat

Baru saja aku dipahamkan tentang sesuatu di balik jingga pekat yg sering membuat orang berdecak kagum. 
Sudah banyak yang bilang, jika langit mulai jingga di sore hari, maka pertanda besok akan panas garang. 
Bukan tidak percaya, sering kali peringatan itu berakhir diperingatan saja, karena itu aku selalu suka fenomena alam ini. Ia begitu bersahabat dengan mata, dan lensa kamera, dan rasanya ia selalu membawa aura senyum lepas bagi mata - mata perasa. 
Hari ini, aku paham. Tanah kelahiranku adalah suatu daerah berbeda. Bukit - bukitnya menutupi filosofi alam yang ditulis oleh pengecap asam garam dunia terdahaulu. Ia menenggelamkan arti jingga pekat yang sebenarnya. 


Selamat datang kemarau panjang. 
Selamat melihat daratan kering meronta. 
Selamat menunggu kumandang takbir idul fitri tanpa hujan di subuhnya.






Friday, July 20, 2012

Masih Menunggu Jawaban

Perjalanan ini memang cukup membuat pertahanan tubuh semakin terpuruk. Tapi siapalah yg mampu menyangka ganasnya angin Madiun kali ini terlalu menusuk tulang rasanya. Bagi mereka apalah arti tubuh 45kg yg dengan gampang menggigil kedinginan di jelang subuhnya. 
Tidak ada yang berani memperkirakan pesan apa yang dibawanya, tapi ada terbesit di dalam sini seruan "BERTAHANLAH !!!, Ini hanya angin pancaroba" 
Seperti resah saat menata setiap langkah, menyadarkan setiap pribadi bahwa perjalanan ini bukan sebuah kekuatan, bukan juga sebuah kecerdasan, melainkan bertahan dan berbaur dengan setiap sudut penglihatan. Bukankan hidup ini sebuah perubahan dan akan selalu berubah? 
Mematung menunggu pagi ini, nyaris serupa saat setiap diri akan tertipu fatamorgana jalanan. Aku menunggu jawaban.Nya yg sempurna. Aku menunggu setiap alasan dari jawaban.Nya dalam setiap caraku menatap pancaroba.Mu. 

Saturday, June 23, 2012

Cinta Yang Tak Semu (Penghambaan)

               Berangkat dari sebuah kata yang begitu melekat pada manusia untuk kehidupannya, yaitu “CINTA”. Karena cinta adalah pancaran dari seluruh penciptaan di muka bumi ini, ia pun berperan sebagai nyawa bagi kehidupan. Singkatnya, dalam kaca mata saya cinta itu berenergi positif dan kalaupun ada suatu malapetaka terjadi itu lebih kepada tenggelamnya rasa cinta.
                Mengingat kembali percakapan Allah dengan para malaikat tatkala hendak menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi Allah ini yang tergambar jelas di dalam Al- Quran surat Al- Baqarah : 30. Bukankah para malaikat telah mempertanyakan kehadiran manusia yang akan membuat pertumpahan darah sementara malaikat senantiasa bertasbih memuji Allah. Namun tetaplah Allah yang Maha Mengetahui. Keraguan malaikat terjawab saat terjadi malapetaka pertama di bumi Allah ini, yaitu pembunuhan terhadap Habil, putra Adam a.s, namun itu lebih kepada hilangnya rasa cinta dan kesalahan dalam memaknai kata cinta itu sendiri.
                Bahkan sejarah sebagai lingkaran yang berputar mundur telah menyajikan berbagai macam hal-hal yang menakjubkan pun terukir karena besarnya rasa cinta dengan objek yang beragam tentunya. Apakah itu rasa penghambaan atau impian akan hidup tentram dan damai bahkan kekuasaan sekalipun.
                Agama saya, ISLAM, mengajarkan tentang bagaimana sebenarnya kecintaan manusia kepada Zat yang luar biasa, yaitu Allah SWT. Berangkat dari kecintaan itulah akan bermuara pada seluruh aktivitas hamba- hamba-Nya. Bahkan kecintaan kepada Allah menjadi takaran aktivitas itu sebagai sesuatu yang bernilai amal atau bukan. Ini lebih akrab dengan sebutan keridhan Allah.
                Manusiawi memang ketika kita mencintai perdamaian, kejujuran, keindahan, keadilan, kebijaksanaan dan sifat – sifat baik lainnya serta membenci kekerasan, kebohongan, pertikaian  dan sifat – sifat buruk lainnya. Hal itu terjadi karena manusia terlahir dilengkapi dengan nurani yang tidak mampu berdusta bahwa manusia mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Nurani ini pun telah mampu menjadi takaran dari nilai suatu tindakan. Dan itulah sebenarnya yang akan diajarkan oleh setiap agama yang diturunkan Allah di bumi ini, bahkan agama ardi (bumi) pun mengajarkan tentang nilai – nilai kebaikan dan keburukan. Agama yang pada dasarnya dipelajari oleh mereka yang berada pada taraf tertentu sesuai eranya melalui Orang Pilihan yang dipilih Allah untuk mereka, serta  dilengkapi dengan Petunjuk yang disesuaikan (sekali lagi) dengan masanya. Dan umat Islam percaya itu tak lain karena Al-Quran dengan sifat – sifatnya telah menjelaskan bagaimana sejarah - sejarah terdahulu diskenariokan secara apik.
                Ada satu hal yang sangat menarik sebagai muara dari catatan ini adalah kata “TAUHID”. Ketika kita mengingat kembali Nabi Ibrahim a.s yang namanya insya Allah akan selalu dishalawatkan ketika umat Islam masih melaksanakan shalat, kita akan mengingat bagaimana permohonannya kepada Allah agar diberikan keturunan, (bukan hanya sekedar keturunan tetapi lebih kepada keturunan yang shalih) yang shalih. Kemudian dengan perumpamaan bintang di langit Allah janjikan keturunan padanya. Dan seperti yang kita ketahui sebagian besar dari  Orang – Orang Pilihan Allah yang memiliki umat – umat tersendiri adalah keturunan dari Nabi Ibrahim a.s. Tidak hanya itu, jauh sebelum Ibrahim a.s pun yaitu Adam a.s ada satu kajian yang tidak pernah berubah sampai Nabi dan Rasul akhir zaman, Muhammad SAW adalah, bagaimana umat manusia dapat menghambakan diri dan me-Mahakan Rabbnya, Allah SWT, atas dasar cinta yang haqiqi.

Sunday, February 12, 2012

Elegi Untuk Pesan Singkat

(Sebuah pesan ku terima) And how could I say that it was too sad.
Ternyata itu kali terakhir aku kesana. Ia telah berhasil mewakili apa yang telah kubahui hingga caraku tegak hari ini. 

Kau akan kami tinggal. 
Dan saat aku pulang ternyata kau bukan tempat yang aku kunjungi, sama seperti jelang magrib saat kami bawakan bunga2 putih untuk ummahah.

Bagaimana dindingmu membatasi kami, hingga jika apa yang ada dibaliknya tak mampu kami dengar, keningmu berlipat empat menyuruh kami dibalik sini diam.
"diam !" pekikmu. 
Aku mengingatnya.

Banyak yang katakan kau sempit, lalu apakah kau tak cukup lapang menerima masalahku, masalah dia, dan masalah - masalah mereka. Terimakasih untuk sudut - sudut yang ikut mendengarkan mimpi - mimpiku.