Sunday, September 29, 2013

CAPTER II (SERIBU RUPIAH UNTUK CELENGAN BARU)

Tiga pohon pinang lagi maka aku harap pagar tinggi itu telah dibuka empunya, pohonnya memang sudah cukup tinggi bahkan sudah sama dengan puluahan pohon mahoni tua di bagian kanan jalan. Aku perkirakan umur pinang-pinang itu lebih dari lima tahun. Jika matahari mulai tegak lurus dikepala pengguna jalan ini, maka mereka akan menggelepar kepanasan saat berjalan pelan seperti yang aku lakukan sekarang ini, jelas saja karena sisi ini tidak lagi kebagian bayangan dari pohon pinang.
Belum ada lalu lalang kendaraan yang berarti dari tadi, tidak begitu jauh berjalan, aku mendengar suara reot-reot besi tua semakin mendekat. Ketika mengalami pembesaran frekuensi gelombangnya, bunyinya semakin keras, ragu-ragu aku membalikkan badan.
“Tylaaaaaaaaaaaa” teriak Ikhlas. Ya.. Tiga tahun aku satu kelas dengan Ikhlas, dan Dua tahun keluargaku mengenal Ibunya, tapi baru kali ini aku melihat sosok laki-laki kurus, tinggi, dengan kulit gelap dan telah keriput. Mulutnya ksedikit bergetar, jakunnya pun naik turun.  Aku yakin itu sosok kakek  yang sering diceritakan Ikhlas padaku.
Alas kaki yang dikenakan kakeknya terbuat dari kulit asli. Sejak sebelum Iklas lahir sepatu itu terus menemaninya, setiap rusak dijahit dan setiap bolong ditambalnya. Kata Ikhlas itu kado dari sang nenek setelah cincin pernikahan mereka terpaksa digadaikan untuk membayar hutang rumah mereka. Sayang sekali rumah itu sekarang hanya tersisa satu kamar, satu dapur dan kamar mandinya saja karena sebagian tanah sudah mereka sumbangkan untuk masjid di samping rumah mereka.
“Sini aja, Kek” kata Ikhlas sambil menepuk sebelah tangan kakeknya. Si kakek tersenyum padaku, tepat seperti pejabat tahun 50-an memberikan sapa pada rakyatnya dengan kaca mata besar dan gigi rapat, tentu gigi palsunya. Aku sering lihat di televisi begitu saat momen tujuh belasan. Tentu aku balas dengan senyum juga. Tak lama, Ikhlas sudah berpamitan sang kakek yang ternyata adalah seorang tukang jam keliling terkenal dizaman 70-an.
“Tyla, itu kakek” katanya, aku mengangguk. Tak lama Ikhlas bersuara lagi.
“Eh.. Ini belum jam enam, tumben udah ke sekolah, Tyl?”
“Iya, Papa ke bandara” jawabku.
“Mau ke negara seperti di kalender rumahku lagi, Tyl?” tanyanya meneliti.
“Hahaha, namanya Canada” teriakku.
Bagiku lucu sekali saat dia menceritakan gambar-gambar atas kalendernya tiap tahun. Temanya terkesan berkeliling dunia, terdiri dari empat lembar masing bergambar foto kota-kota besar di dunia, dan bagian bawahnya terdapat tanggal-tanggal yang dipenggal sebanyak 3 bulan. Baginya, itu adalah kota sungguhan dan bahkan motivasinya untuk selalu belajar Ilmu Pengetahuan sosial.
Ikhlas bercerita bahwa kalender itu hadiah dari pelanggan kakeknya yang bekerja sebagai tukang potong kertas di salah satu percetakan buku cerita-cerita rakyat. Mendengar pelanggan untuk jasa perbaikan jam saja aku sudah menahan tawa. Kata Ikhlas pemuda itu tidak punya kebiasaan mengonta-ganti jam, hanya saja demi kekasihnya di Arab Saudi sana, ia selalu memastikan jam tangannya tidak rusak saat terkena hujan atau tersenggol mesin pemotong. Maklumlah, itu hadiah dari calon istrinya yang akan dinikahinya 5 tahun mendatang.
            “Setia sekali” bisikku sendiri
            “Apa?” ikhlas memandangiku.
            “Mereka, kakekmu dan cerita tentang pemuda itu jawabku.” Jelasku.
            “Kamu belum tau yang super setia, Tyl.
“Siapa?” desakku
“Ikut dulu mengaji denganku. Hahaha..” Ikhlas terbahak-bahak.
            “Aku sih mau aja, asal kamu dan kakekmu ikut ibumu tinggal dirumahku” kataku.
            “Tidak ada istilah barter soal ini, Tyla. Kakek bisa mati saat berpisah dengan rumahnya. Dan aku adalah cucu kakek. Soal mengaji itu untukmu” jelasnya, meskipun aku sangat bingung dengan penggalan kalimatnya, aku hanya mengangguk memastikan ia tidak mengoceh lebih banyak lagi. “Ah... Siapa yang kau katakan paling setia itu, Bujang” tanyaku dalam hati.
            “Kau tau jawaban Ayah kan Ikhlas?” keluhku
            “Sudahlah, ada titipan dari Ibuku?” hardiknya sembari menengadahkan tngan kanannya.
           “Jangan lupa persenanku ya” candaku balik padanya seraya memberikan uang seribu rupiah padanya.
            “Ambillah” katanya.
            “Apa?” aku kaget bukan main.
      “Belikan aku celengan dengan uangku. Kata orang belanja digedung-gedung bertingkat lebih murah yang jualan sudah kaya” jelasnya.
       “Hahaha, itu namanya diskon, ada yang promo, juga ada obral, semua sama mengistimewakan planggan dan tentu mereka punya kepentingan.” Aku menjelaskan sedikit tentang apa yang aku tau.

      “Ya, belikan aku itu, lalu cukup beri aku belanja senin dan jumat, dan sisanya kamu masukin ke celengan ya. Tenang Tyla, kita akan bagi hasil.” Terangnya, kali ini bocah inimenatapku Aku mengangguk setuju. 

CAPTER I (BOCAH TEPI KALI)

Tidak jauh jembatan itu akan ada pertigaan pertama di sebelah kiri jalan, jalannya hanya selebar dua meter mungkin dan berbatu krikil. Ada lebih dari dua ratus kepala keluarga  yang memilih hidup di perkampungan yang luasnya tidak lebih dari dua hetar itu.
Jika langit mulai menjadi abu-abu tua, ibu – ibu mulai berteriak pada anak-anak gadis mereka untuk membereskan perkekas di halaman rumah dan jemuran yang belum kering, bahkan sampai pekak telinga sang kepala dusun saat hampir semua warga minta kapan mereka bebas dari banjir bulanan. Lain lagi jika adzan berkumandang, tidak ada gaduh sedikitpun kecuali suara semak yang dilewati kadal – kadal coklat tua ditepi masjid. Bocah-bocah muslim kapung tak ubahnya itik pulang ke kandangnya saat mereka selesai mengaji. Kwek ... Kwek ... Apalagi kalau bukan sendok nasi dalam kepala mereka.
Aku pernah mendapat cerita konyol dari Ikhlas, tentang Niko sahabatnya yang bermata sipit, dan merupakan keturunan Cina. Namun sayang sekali, kulitnya telah gelap  dan hanya bagian tertentu saja terang seperi bagian yang tertutup tali singgletnya. Keluarga Niko sangat taat pada agama, berkali-kali Niko memintan Ikhlas menunggu di teras greja kota sebelum mereka mencari cacing untuk umpan pancingan. Belumlah lama rasanya Niko masuk greja ia sudah menarik tangan Ikhlas dan mengajak Ikhlas berlari ke tepi kali pinggir desa. Sudah barang pasti Ibu Niko marah dan langsung terbirit –birit langkahnya mengejar Niko.
“Kembali Kau, Niko. Atau Ibu tak bukakan pintu nanti sore”, teriaknya di depan greja. Kali ini ia tak peduli akan pengunjung greja yang melihat ke arahnya.
“Tenag, lima ekor ikan untuk Ibu” balas niko tanpa menoleh lagi. Ada yang menertawakan, lucunya Ayah Niko hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ibu beranak itu. Bagaimanapun kisah-kisah tentang orang tua sudahlah lebih dari cerita peri-perian gadis-gedis kecil, saat Niko pulang akan ada hadiah menarik yaitu sepiring nasi lengkap dengan lauknya, ceramah agama dari ayahnya, dan tumpukan botol-botol yang harus dipilahnya dalam karung-karung hasil pulungan Ayahnya. Kepala Niko telah tertunduk hari itu.