Tiga
pohon pinang lagi maka aku harap pagar tinggi itu telah dibuka empunya,
pohonnya memang sudah cukup tinggi bahkan sudah sama dengan puluahan pohon
mahoni tua di bagian kanan jalan. Aku perkirakan umur pinang-pinang itu lebih
dari lima tahun. Jika matahari mulai tegak lurus dikepala pengguna jalan ini,
maka mereka akan menggelepar kepanasan saat berjalan pelan seperti yang aku
lakukan sekarang ini, jelas saja karena sisi ini tidak lagi kebagian bayangan
dari pohon pinang.
Belum
ada lalu lalang kendaraan yang berarti dari tadi, tidak begitu jauh berjalan,
aku mendengar suara reot-reot besi tua semakin mendekat. Ketika mengalami
pembesaran frekuensi gelombangnya, bunyinya semakin keras, ragu-ragu aku
membalikkan badan.
“Tylaaaaaaaaaaaa”
teriak Ikhlas. Ya.. Tiga tahun aku satu kelas dengan Ikhlas, dan Dua tahun
keluargaku mengenal Ibunya, tapi baru kali ini aku melihat sosok laki-laki
kurus, tinggi, dengan kulit gelap dan telah keriput. Mulutnya ksedikit bergetar,
jakunnya pun naik turun. Aku yakin itu
sosok kakek yang sering diceritakan
Ikhlas padaku.
Alas
kaki yang dikenakan kakeknya terbuat dari kulit asli. Sejak sebelum Iklas lahir
sepatu itu terus menemaninya, setiap rusak dijahit dan setiap bolong
ditambalnya. Kata Ikhlas itu kado dari sang nenek setelah cincin pernikahan
mereka terpaksa digadaikan untuk membayar hutang rumah mereka. Sayang sekali
rumah itu sekarang hanya tersisa satu kamar, satu dapur dan kamar mandinya saja
karena sebagian tanah sudah mereka sumbangkan untuk masjid di samping rumah
mereka.
“Sini
aja, Kek” kata Ikhlas sambil menepuk sebelah tangan kakeknya. Si kakek
tersenyum padaku, tepat seperti pejabat tahun 50-an memberikan sapa pada
rakyatnya dengan kaca mata besar dan gigi rapat, tentu gigi palsunya. Aku
sering lihat di televisi begitu saat momen tujuh belasan. Tentu aku balas
dengan senyum juga. Tak lama, Ikhlas sudah berpamitan sang kakek yang ternyata
adalah seorang tukang jam keliling terkenal dizaman 70-an.
“Tyla,
itu kakek” katanya, aku mengangguk. Tak lama Ikhlas bersuara lagi.
“Eh..
Ini belum jam enam, tumben udah ke sekolah, Tyl?”
“Iya,
Papa ke bandara” jawabku.
“Mau
ke negara seperti di kalender rumahku lagi, Tyl?” tanyanya meneliti.
“Hahaha,
namanya Canada” teriakku.
Bagiku
lucu sekali saat dia menceritakan gambar-gambar atas kalendernya tiap tahun.
Temanya terkesan berkeliling dunia, terdiri dari empat lembar masing bergambar
foto kota-kota besar di dunia, dan bagian bawahnya terdapat tanggal-tanggal
yang dipenggal sebanyak 3 bulan. Baginya, itu adalah kota sungguhan dan bahkan
motivasinya untuk selalu belajar Ilmu Pengetahuan sosial.
Ikhlas
bercerita bahwa kalender itu hadiah dari pelanggan kakeknya yang bekerja
sebagai tukang potong kertas di salah satu percetakan buku cerita-cerita
rakyat. Mendengar pelanggan untuk jasa perbaikan jam saja aku sudah menahan
tawa. Kata Ikhlas pemuda itu tidak punya kebiasaan mengonta-ganti jam, hanya
saja demi kekasihnya di Arab Saudi sana, ia selalu memastikan jam tangannya
tidak rusak saat terkena hujan atau tersenggol mesin pemotong. Maklumlah, itu
hadiah dari calon istrinya yang akan dinikahinya 5 tahun mendatang.
“Setia sekali” bisikku sendiri
“Apa?” ikhlas memandangiku.
“Mereka, kakekmu dan cerita tentang pemuda itu jawabku.”
Jelasku.
“Kamu belum tau yang super setia, Tyl.
“Siapa?”
desakku
“Ikut
dulu mengaji denganku. Hahaha..” Ikhlas terbahak-bahak.
“Aku sih mau aja, asal kamu dan kakekmu ikut ibumu
tinggal dirumahku” kataku.
“Tidak ada istilah barter soal ini, Tyla. Kakek bisa mati
saat berpisah dengan rumahnya. Dan aku adalah cucu kakek. Soal mengaji itu
untukmu” jelasnya, meskipun aku sangat bingung dengan penggalan kalimatnya, aku
hanya mengangguk memastikan ia tidak mengoceh lebih banyak lagi. “Ah... Siapa
yang kau katakan paling setia itu, Bujang” tanyaku dalam hati.
“Kau tau jawaban Ayah kan Ikhlas?” keluhku
“Sudahlah, ada titipan dari Ibuku?” hardiknya sembari
menengadahkan tngan kanannya.
“Jangan lupa persenanku ya” candaku balik padanya seraya
memberikan uang seribu rupiah padanya.
“Ambillah” katanya.
“Apa?” aku kaget bukan main.
“Belikan aku celengan dengan uangku. Kata orang belanja
digedung-gedung bertingkat lebih murah yang jualan sudah kaya” jelasnya.
“Hahaha, itu namanya diskon, ada yang promo, juga ada
obral, semua sama mengistimewakan planggan dan tentu mereka punya kepentingan.”
Aku menjelaskan sedikit tentang apa yang aku tau.
“Ya, belikan aku itu, lalu cukup beri aku belanja senin
dan jumat, dan sisanya kamu masukin ke celengan ya. Tenang Tyla, kita akan bagi
hasil.” Terangnya, kali ini bocah inimenatapku Aku mengangguk setuju.