Untuk Papa
Masih lekat dingatan ku, Pa..
Dulu, dulu sekali. Papa bilang untuk tidak
mempertontonkan kesedihanku, masalahku pada orang lain, cukup aku dan Allah
yang tau. Karena menurutmu itu sebenarnya sebuah ketegaran.
Maaf, hari ini aku ingin menuliskannya, Pa. Mungkin tidak
ada satupun yang dapat mewakili apa yang aku rasakan saat toots-toots keyboard
ini aku tekan. Karena jauh di dalam sini aku sangat ingin kesembuhan Papa. Aku
ingin Papa mengelar cerita apapun dengan jelas, aku ingin Papa bisa mengendarai
motor lagi, aku ingin namaku disebut tanpa ada yang lupa, aku ingin Papa sembuh
dan bisa menyediakan paha Papa untuk aku tiduri saat diperjalanan pulang ke
rumah. Aku rindu Papa benar-benar-benar rindu Papa.
Papa, ia mungkin tidak sesempurna kisah – kisah Luqman,
tapi ia adalah manusia yang membuat aku menangis berhari-hari , karena begitu
banyak yang ia berikan tapi sedikitpun belum bisa aku balas. Bahkan saat Papa
terbaring sakit, sedikitpun belum tersentuh tanganku padahal dari kecil dialah
yang membimbing tanganku. Egois sekali anakmu ini Pa, jaminan apa yang tersaji
di depan sampai relanya aku bertahan disini. Aku rindu rumah, rindu kita
bersama di meja makan.
Dari sekian banyak momen masa kecilku dengan Papa, aku
sangat ingat saat Papa dayung sepeda unguku(kelas 4 SD), sementara aku duduk di belakang. Saat
itu Papa akan berangkat ke Padang, sederhana sekali sore itu, aku mengantar Papa
dengan sepeda ke Pakan Sinayan (2 km dari rumahku). Aku ingat wanti-wantinya
untuk hati-hati pulang.
Pa, hari itu di Bukittinggi, Aku aturkan maaf hari ini
karena udiknya aku belum sempat aku katakan. Sungguh tidak bermaksud aku tidak mencium
tanganmu saat mengantarkanku ke kos. Besar rasa bersalahku, saat belum penuh
matahari muncul, aku sudah diantarkan dengan motor ke Bukittinggi dari
payakumbuh, tetapi sampai di kos, aku hanya masuk tanpa salam terlebih dulu.
Adakah kau benar-benar sedih saat itu Pa? apa aku
terlihat begitu angkuh? Sungguh aku menangis sejadinya hari itu, Pa. Saat itu
aku masuk dan berniat menerima tawaran Papa untuk diantar ke tempat bimbel,
tapi saat aku keluar rumah tidak ada siapa-siapa lagi. Papa pulang, dan aku belum
mencium tanganmu. Aku merasa durhaka hari itu, sampai-sampai di waktu pulangku
di angkot, aku habiskan dengan menangis.
Pa, aku masih berharap Papa menjemputku di bandara esok,
aku sangat berharap untuk Juli esok, Pa. Januari lalu, Papa bilang, untuk tidak
melarangmu menjalankan fungsimu sebagai orang tua selagi kondisimu masih sehat.
Dan benar saja, aku nyaman tertidur di pahamu saat itu. Aku terhayak
mengingatnya. Kalau kepulanganku Januari lalu ke
Sumbar untuk mengajak keluarga kita jalan-jalan seperti dulu, sekarang tidak
lagi Pa, aku ingin benar-benar menemanimu latihan jalan, membantumu latihan
berbicara (insyaAllah).
Tidak ada yang
mengerti tentang kesempurnaan selain Sang Pencipta, bahkan Papa dan Aku pun
tidak. Allah, izinkan Papa sembuh, aku mohonkan ampun atas dosa beliau, Jagakan
beliau untuk kami, sehatkan Papa. Aku mohon. Sehatkan beliau.
Allah, beri aku kesempatan pulang, beri aku kesempatan memeluk
Papa, beri aku kesempatan memperbaiki begitu banyak dosaku padanya. Aku tidak
ingin Papa meringis kesakitan, tapi tidak satupun anaknya disampingnya.
Pa, anakmu menangis,
Aku bukan tak tegar,
Aku mengis karena aku rindu,
Benar-benar rindu Papa.
Allah,
Izinkan aku pulang
Izinkan aku berkumpul dengan keluargaku
Aamiin
No comments:
Post a Comment
Thanks For Comment