Di sebuah gerbong
kereta tua, sepasang mata coklat kehitaman berembun menatap keluar dar balik
jendela. Pemilik mata coklat itu adalah seorang gadis lemah. Kenapa tidak, ia
sering menangis. Aku berfikir, berapa lama lagi perjalanannya menuju stasiun
pemberhentiannya? Rasanya barulah sebentar kakinya melangkah memasuki pentu
dari ular besi itu, tetapi terlalu pahit pil demi pil ini ia telan. Ia
menangis, “Kau lemah” cemoohku lagi.
Aku mengingatnya
sejalas, kala itu mimpi demi mimpi ia pancangkan jauh di ujung dunia sana, ia
bermimpi akan bebas mengudara dan meliuk
– liuk di atas nya. Telah ia biarkan kakinya mengawang dan tangannya mengepal.
Ya dia punya mimpi. Indah bukan?
Malam itu ia meraung
di depanku, Tuhan telah mengenalkannya
pada pil pahit, ya pahitnya menggugurkan dosa. Tuhan pun mengajarkan ia rasa
kehidupan yang berbeda – beda. Bahkan ia telah melihat kelabu jalan-jalan di
depannya.
Perlahan aku dekati
ia, wajahnya sungguh pucat dan kering. “Kau telah kembangkan jari-jarimu, Kau
telah menyusun serpih demi serpih puzzel mimpimu di atasnya, Kuat sekali kau
menggenggamnya kulihat, Ya.. Aku tau kau sejatinya sedang bertekad, Ada satu
hal teman, tak mudah memang, biarkan tangan-tangan Tuhan menginterferensi
mimpi-mimpimu, kelak kau akan tersenyum” kemudian aku beranjak meninggalkannya
yang kala itu hanya melirik kerikil-kerikil tajam dari dalam jendela.
Dan gadis itu adalah
aku.
Pa, Uli menangis bukan karena kehilangan kepekaan untuk merasa.
Hanya saja Uli harus belajar tulus berprasangka pada Tuhan.
Dan Kalau Uli menangis, sama sekali bukan persoalan telah kehilangan ketegaran.
Hanya saja masih ada sekian dari sisi kemanusian yang akan mampu terselesaikan dengan air mata.
Pa, ajari Uli setegar dan sekuat Papa.
Semoga Papa sembuh seperti sedia kala.
Kami sayang Papa.
YARSIS SURAKARTA, JAWATENGAH AL-HAJJ - 6