Memahami ini sebagai sebuah
keputusan bukan hal gampang memang. Bertahan sendiri yang sebenarnya semua
orang mampu mengerti kondisinya. Flashback dari rencana awal tentang rancangan
langkah yang telah dipikirkan matang – matang saat itu, tetapi sebutlah rencana
itu gagal terwujud. Biarlah.. Biarlah kata “belum berhasil” tidak aku terima.
Karena hari ini aku lebih dari sekedar bahagia disini dan menata hati itu
begitu indah terasa.
Batiahnya kota kelahiranku,
magnet – magnet ranahku begitu berat untuk ditinggalkan hanya untuk beranjak ke
sebuah kampung kecil ini, sebutlah kota administratif. Tanpa bandara, tanpa
mall, dan bukan berarti tanpa keistimewaan. Dan perjalanan ini tidak ingin aku
sia – siakan tanpa sebuah pembukuan.
Perjalan 4-5 jam efisiensi adalah perjalanan tersabar
menurutku menuju Yogyakarta atau Semarang. Bagaimana tidak, perjalanan yang
sebenarnya bisa ditempuh 3-4 jam mengalami perlambatan karena akses jalan yang
sempit dan berkelok – kelok terjal. Dan ini demi gelar “Sang Anak Jenderal Soedirman”
aku relakan keluahan membathinkanku satu persatu.
Saat itu, mobil travel yang mengantarkanku pertama kali
kesini serasa tidak cukup tenaga memboyong ke kaki gunung Selamet, Purwokerto
ini. Jiwa kotaku membrontak kasar dalam paras tenangku. Entah kutukan dan
pertanyaan macam apa yang harus diutarakan tentang kota pendewasa jiwa ini saat
itu. “ Ya Allah.. rencana macam apa yang hendak Kau tunjukkan padaku?”
Tidak cukup dengan kota ini, kejutan – kejutan lainnya
adalah tentang rumah keduaku yang tak cukup kokoh menurutku, tidak indah, tidak
mewah, tetapi amat rindang tertutup pohon meraksasakan diri. Sementara di sisi
depan kemewahan terjadi. Gedung – gedung pencakar langit, akses kemewahan
bertebaran, suasana intelektual yang kala itu menurutku adalah seperti itu
membebani benakku.
“Pulangkah yang terbaik? Dan
Hukum Andalas menantiku.” sederhananya kontradiktif. Tetapi dalam – dalam
kutepis keinginanku untuk pulang karena sedari awal –studi ke luar Sumatera-
adalah orientasiku. Meskipun besar keraguan tentang narasi macam apa yang akan
dikisahkan ke kampung halaman nantinya. Ini hanya kuwujudkan dengan
ber-ramadhan dan ber-syawal di sebuah kota persiapan, Madiun Jawa Timur.
Datang ke kota ini lebih awal.
Jiwaku kering serupa dengan retak – retak tanah yang kutinggalkan di Jawa
Timur. Kamilah dua wujud berbeda sepantaran kisah kehausan lebih dari sebulan. Saharaku yang
ingin selalu bertumbuh, hijau, tersenyum setidaknya tetapi itu tidak terjadi.
Sampai pada suatu hari butiran itu turun mengembun besar. Langkah kaki lebih
dipercepat, berlari dari lantai tiga rusunawa Soedirman menuju halaman luas
intelektual, berputar – putar, dan mengabadikannya. Inilah gerimis pertamaku di
pulau Jawa. Hanya di kota Purwokerto.
Kisah lainnya adalah menyerahnya
tubuhku dengan sekelebat kegiatan bersih – bersih asrama. Dinginnya Purwokerto
lebih menusuk tulang rasanya. Malam itu
tiada yang bisa mendengar keluhku karena melihatku berkeluh semacam satu hal
yang tabu bagi mereka disini. Jangankan pemanas ruangan, jaket atau selimut
saja aku belum punya. Aku serasa meregang nyawa di jelang subuh hari itu.
Disini fase – fase betapa aku ingin pulang setidaknya dihangatkan istanaku.
Sekali lagi, sakit tanpa orang tua itu sama beratnya saat mendengarkan kumandang
takbir syawal tanpa keluarga di satu permadani sajadah.
Dan hari ini catatan ini rampung
ku tulis, karena aku tidak punya alasan lagi untuk mengeluh. Karna keluh
terbesarku menempati seluruh hati yaitu saat aku tak lagi dicintai, dan saat
aku lupa akan janjiku mencintai. Perjalanan singkat ini masih snagat panjang
untuk berlanjut, bertumbuhlah sahara!